Umum
ADA NAMA RARA DISEBUT


Leonita Lestari
05 Apr 2022
Apapun bungkusan dari event MotoGP Mandalika, ujung-ujungnya adalah bisnis dan investasi. Apapun wujudnya.
Ketika panggung itu dilihat oleh 400 juta pasang mata dari 192 negara dan disiarkan secara langsung oleh lebih dari 200 stasiun TV, tak bisa diingkari bahwa itu adalah panggung BESAR.
Siapapun panitia penyelenggara event itu haruslah sosok profesional. Karena itu panggung, dia haruslah ahli dalam bidang teknik seni pertunjukan. Dan karena itu bermakna seni, kreativitas dan improvisasi mumpuni harus dimiliki.
Bayangkan bila pada sebuah gelaran Elton John menggigit lidahnya sendiri karena terlalu serius mengunyah permen karet misalnya. Padahal, pada pertunjukan tersebut dia adalah artis utama.
Mundur 30 menit dari jadwal yang telah disetting bukanlah pekerjaan mudah. Itu butuh sosok mumpuni agar pertunjukan tetap berjalan sesuai target.
Merubah potensi kerugian menjadi keuntungan, ini cerita lain lagi. Di sana butuh sosok manager panggung yang tak mudah terintimidasi.
Bukan hanya tak sigap, panitia pada event MotoGP Mandalika justru berhasil menuai berkah pada kondisi tak menguntungkan itu. Improvisasi kreatif dengan menampilkan sosok pawang hujan bernama Rara saat balapan motor itu harus dihentikan karena hujan sangat deras, menjadi trending topik dunia.
Serta merta, mata dunia terpalingkan dari hujan dan rasa penat menunggu berubah menjadi moment mengasikkan. Sensasi kebaruan yang tak pernah mereka bayangkan ada, hadir dalam seketika di depan matanya.
Seorang perempuan tampil dalam aksi menghentikan atau memindahkan hujan.
Tak perlu kita berdebat terkait efektifitas dari aksinya dilihat dari sisi logis atau bahkan mistis. Itu adalah improvisasi cerdas sebagai upaya membuat orang tetap terhibur dalam konteks seni pertunjukan.
Hasilnya, hampir semua penonton di seluruh dunia membicarakannya. Nama Rara melejit dan Indonesia sebagai tuan rumah event MotoGP seri kedua kejuaraan dunia 2022 menjadi pembicaraan.
Dalam konteks panggung tersebut sebagai media promosi, tak bisa disangkal bahwa itu jelas adalah keberhasilan. Ga terlalu berlebihan bola kelak akan disebut dengan kesuksesan tingkat dewa.
Kenapa? Itu sangat iconic. Sangat membekas dalam ingatan kolektif dunia sebagai satu-satunya kejadian unik dan pertama kali terjadi dalam sebuah event MotoGP. Dan luar biasanya, itu terjadi di Indonesia.
Seumur hidup, peristiwa itu akan terus dibicarakan. Akan ada usaha dari banyak tuan rumah dalam event apapun dari negara lain mencoba mengadopsi teori itu demi memperkenalkan budayanya. Dan itu adalah promosi, itu adalah bisnis.
"Apa ga justru mempermalukan negara kita karena masih percaya klenik di tengah usaha banyak negara yang bahkan sudah membidik Mars sebagai targetnya"
Masyarakat Jepang dengan kemampuan teknologinya yang sangat-sangat tinggi pun hingga kini masih memelihara tradisi yang sama demi menolak hujan. Ga ada yang bilang bahwa tradisi itu memalukan.
Hanya kaum munafik saja yang berbicara bahwa itu memalukan. Seperti anak-anak yang mendapat mainan baru dan maka mainan lama mereka buang, itulah makna mentalitas kekanak-kanakan. Jiwanya yang masih labil membuatnya hanya mampu berpikir satu langkah kedepan saja.
Orang tuanya sebagai pihak yang lebih bijak karena asam garam, justru akan menyimpannya dengan hati-hati. Mainan itu pernah membantu anaknya tumbuh dan berkembang.
"Serius itu bukan tindakan konyol?"
Event MotoGP adalah panggung yang sengaja dibuat dan diperuntukkan bagi usia dewasa atau yang mau berpikir dewasa. Anak rewel dan ngambekan, abaikan saja. Ga ada sedikitpun hal baik akan muncul dari anak-anak yang lagi ngamuk.
Dan pertunjukan ini sukses. Paling tidak, nama Indonesia menjadi lebih banyak disebut dan maka juga memiliki korelasi akan menjadi target untuk dikunjungi kelak.
Terlepas percaya atau tidak atas ritual tersebut, faktanya, ga lama setelah Rara beraksi, hujan berhenti. "IT WORKED", itu ditulis dari laman resmi MotoGP.
Dan maka, nama Rara tak kalah tenar dibanding Miguela Oliveira pembalap dari Portugal yang berhasil berdiri di podium sebagai juara.
Believe or Not, hanya pada gelaran MotoGP Mandalika 2022 saja sosok tak terlibat balapan dibicarakan dalam setara dengan sang juaranya. Nama Rara ada disebut.
Bagi situasi kebangsaan kita, seharusnya itu merisaukan. Usia perempuan itu masih 29 tahun dan namun konon dia telah lebih memilih untuk mati dengan upah surga.
Entahlah… Semoga kabar itu tidak benar.
FAM yang menabrakkan kendaraannya ke kantor Polres Pematangsiantar itu telah ditahan dan kini oleh penyidik Kepolisian sedang dilakukan pemeriksaan secara intensif. Kabar bahwa kebencian pada aparat Kepolisian karena faktor peristiwa KM 50 dan pemenjaraan HRS dan membuatnya terinspirasi untuk berbuat nekad itu harus dibuktikan.
Bila benar, patut kiranya kita berduka. Itu tentang paham radikal yang mendera pada warga negaranya yang seharusnya dapat dicegah oleh negara.
Di luar sana, seorang muda berumur 16 tahun justru mampu bertindak luar biasa hebat demi turut terlibat dalam memperbaiki iklim dunia.
Greta Thunberg dari Swedia dinobatkan sebagai individu termuda oleh majalah Time sebagai Person of the Year 2019.
Dengan dedikasinya, Thunberg mengilhami ratusan ribu anak muda untuk berpartisipasi dalam "pemogokan iklim", yang terbukti mempengaruhi para pemimpin dunia dalam seruan mereka untuk perubahan yang transformatif dan mendesak. Tulis Forbes.
Bayangkan, apa yang kita jalani setiap hari terkait penggunaan plastik atau BBM misalnya, bukan mustahil adalah bagian dari hasil kerja anak yang masih berusia 16 tahun ini.
Bukan hanya sosok dari negara maju dan maka kita dapat berkilah. Ingat Malala? Dia adalah perempuan berumur 17 tahun dari Afghanistan sebuah negara sangat miskin dan selalu dilanda perang. Dia adalah peraih Nobel termuda sepanjang sejarah.
Atas perjuangannya melawan kekerasan terhadap anak-anak perempuan yang ingin bersekolah, pada tahun 2014 Malala Yousafzai dianggap pantas mendapatkan Hadiah Nobel Perdamaian.
"Apakah itu tak membuat pemerintah kita peduli?"
Bila harapan harus kita letakkan, paling tidak, masih ada 1 atau 2 politisi peduli dengan hal-hal seperti itu. Yang lain, ini bukan isu panas untuk mendulang popularitas.
Tampil di acara "Journey of The Cadicate" dan diwawancarai Onadio Leonardo dan Debby Wage, February 2022 lalu, suara seorang politisi yang tak terlalu sibuk dengan gimmick itu justru bicara masalah tersebut.
Membangun jembatan komunikasi antar generasi dibidiknya. Itu dia tekankan demi terciptanya sebuah peradaban dan generasi yang lebih sempurna dari sebelumnya dalam konteks kebangsaan kelak.
Memahami bahwa nama-nama seperti Gretha Thundberg dan Malala Yousafzai adalah generasi Z, itu pasti tak lepas dari kemajuan teknologi informasi saat ini. Jembatan komunikasi harus dibangun dengan pola tersebut.
Web dan media sosial faktanya benar telah memperkuat suara anak-anak muda tersebut. Itu tak terjadi pada generasi sebelumnya bahkan generasi Budiman.
Dan sebagai penduduk asli digital, Gen Z mampu mewujudkan konektivitas dan menavigasi dunia online dengan kemudahan dan kelancaran yang tak tertandingi.
Itulah fakta yang tak dapat dipungkiri dan maka harus dimaknai sebagai pilihan dalam membangun komunikasi dengan generasi tersebut. Dan Budiman memang telah masuk pada wilayah itu.
Menjembatani Generasi X atau generasi Budiman dengan generasi Y dan Z menuntut pemahaman yang tinggi tentang kondisi anomali yang terjadi saat ini.
Nilai-nilai lama yang biasanya dijalankan kini sudah tidak berlaku. Sementara, nilai-nilai baru yang relevan dengan situasi saat ini masih terus dibentuk.
Apakah caranya ini kelak akan mampu melahirkan Greta Greta dan Malala Malala baru yang berasal dari Indonesia, mungkin butuh waktu panjang. Namun, paling tidak, FAM FAM lain yang terkungkung doktrin keras akan semakin berkurang.
Itu bukan hal mustahil dengan cara dan pilihan pendekatan yang dia lakukan. Melék teknologi dan sekaligus melék informasi adalah lawan paling sempurna bagi kebodohan.
Ya, saat ini kita benar-benar butuh politisi seperti Budiman Sudjatmiko.
(NitNot-KK)